Pembaruan Hukum Pidana Melalui Penerapan Prinsip Insignifikansi: Kajian dalam KUHP Baru Indonesia
DOI:
https://doi.org/10.56607/73krj443Kata Kunci:
Pembaruan Hukum Pidana, Hukum Progresif, Prinsip Insignifikansi, KUHP Baru IndonesiaAbstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena over criminalization dalam sistem hukum pidana, dimana pelanggaran ringan dengan dampak tidak signifikan seringkali disikapi secara berlebihan. Hukum pidana yang konvensional membuat kondisi tersebut terjebak dalam formalisme dan positivisme, yang mengakibatkan penerapan hukum yang kaku dan kurang responsif terhadap konteks sosial, sehingga hukum pidana yang ada cenderung mengabaikan perbedaan antara dampak perbuatan hukum yang signifikan dan tidak signifikan. Hal ini dapat menyebabkan hukuman menjadi tidak proporsional dan tidak adil. Oleh karena itulah prinsip insignifikansi muncul sebagai salah satu hukum progresif, demi mengatasi ketidakadilan yang disebabkan penerapan hukum yang kaku melalui pembaruan hukum pidana. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang melibatkan teori progresif sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Satjipto Rahardjo, bahwa paradigma hukum pidana menekankan pada kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat sehingga hukum tidak menjadi seperangkat aturan yang kaku, melainkan sebagai alat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Dari penelitian ini, didapatkan kesimpulan bahwasannya pembaruan hukum pidana melalui pengesahan KUHP baru dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 dengan mengakui prinsip insignifikansi merupakan langkah penting menuju sistem hukum pidana yang lebih modern dan proporsional. Prinsip ini mengurangi kriminalisasi berlebihan terhadap pelanggaran ringan, menghemat sumber daya hukum, dan menggantikan pendekatan retributif dengan keadilan substantif. Penerapan prinsip insignifikansi dalam KUHP baru juga mengarah pada keadilan restoratif dengan mengurangi beban sistem peradilan dan mengalihkan fokus pada penyelesaian non-punitif. Prinsip ini memungkinkan penyelesaian kasus ringan melalui mekanisme alternatif seperti mediasi atau restitusi. Namun, tantangan seperti potensi penyalahgunaan diskresi dan persepsi masyarakat yang konservatif perlu diatasi dengan pengaturan yang jelas, pelatihan aparat penegak hukum, dan edukasi publik. Dengan penerapan yang konsisten, prinsip ini dapat menciptakan sistem hukum pidana yang lebih efisien, manusiawi, dan berkeadilan.
Unduhan
Diterbitkan
Terbitan
Bagian
Lisensi
Hak Cipta (c) 2025 Siti Khumairoh Kusuma Arum, Khilmatin Maulidah

Artikel ini berlisensi Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.
Penulis artikel yang diterbitkan di Jurnal EMS diizinkan untuk mengarsipkan sendiri versi terbitan/PDF di mana saja.